Sebelum saya berceloteh, ada sebuah cerita seekor Singa, tepatnya seekor anak singa yang masih kecil yang terpisah dari induknya. Ia begitu sedih, hingga ketika melihat segerombolan kambing, Ia pun mengikuti ke mana pergi kambing tadi hingga akhirnya ia masuk ke dalam komunitas mereka, komunitas kambing.
Anak singa itu makan dedaunan selayaknya kambing-kambing yang lain, “nyam...nyam....” pergi bersama para kambing, tumbuh menjadi besar dan dewasa. Makan rumput dan mengembik layaknya kambing pada umumnya. Anak singa tidak sadar akan kelebihan yang ia miliki, belum sadar akan kekutan yang terpendam. Belum menemukan potensi diri (jati diri).
Pagi itupun tiba. Anak singa yang sudah tumbuh dewasa tadi hendak ke sungai untuk melepas dahaga, Ia melihat bayang-bayang wajahnya di air. Bercermin. Berbeda. Ia heran dan kagum. Ternyata wajahnya tak serupa dengan wajah kambing yang selama ini menjadi induknya, teman mainnya. Ada apa?
Lama ia berfikir dan merenung, mencoba menggali apa yang terjadi pada dirinya. Saat itulah seekor gajah melintas. Ia pun bertanya padanya,
“Siapa aku?”
“kamu adalah singa, keturunan singa” jawab sang gajah sambil bergegas pergi.
Mendengar keterangan tersebut, ia mengaung keras sekali hingga menciutkan nyali semua kambing.
Kini ia telah menemukan diri : seekor singa. Ya, seekor singa bukan lagi kambing. Ia temukan dirinya. ia berani unjuk kekuatan dan menyingkap tabir sadar akan kelebihan yang ia miliki, layaknya kita yang saat ini masih mencari jati diri. “Siapa aku?”. Kita sering nganehi berperasa sensitif, berontak yang meletup-letup dan sebangsanya, itu semua merupakan proses yang sangat wajar tapi ingat jangan hanya mencari kesenangan semu, semua ada batas dan etikanya dan semua proses yang kita jalani merupakan proses terbentuknya karakter kita nantinya, jadi kudu pinter memilih dan memilah tentunya.
Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa “seorang mukmin itu cermin bagi mukmin yang lain. Seorang mukmin itu cermin bagi saudaranya” (H.r. Thabrani dari anas r.a.).
Kita bercermin seperti singa yang kehilangan induknya tadi, kita dapat bercermin dengan teman kita orang-orang disekeliling kita, lewat itu semua kita temukan potensi diri, keunikan-keunikan yang kita miliki tapi tidak dimiliki oleh orang lain, jangan merasa kita harus seperti orang inilah orang itulah, kalau itu sampai terjadi pada diri kita berarti nggak punya pendirian namanya. Sebab, setiap manusia diciptakan menurut bakatnya masing-masing, seperti nabi Adam as menjadi seorang petani, nabi Nuh tukang kayu, nabi Daud pandai besi, dan nabi Muhammad SAW seorang penggembala.
Seorang nabi saja mempunyai karakter sendiri-sendiri. Punya potensi sendiri-sendiri, jadi ndak usah minder bila melihat teman kita pandai ini itu, coba kita temukan apa yang ada dalam diri kita Find Your Life.
Tak lepas dari itu semua untuk menemukan potensi yang ada pada diri kita perlu juga kita perpegang pada sebuah ngendiko jowo yaitu “sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, menang tanpo ngasorake” yang bermakna “kaya tanpa harus menumpuk harta, menggempur musuh tanpa harus mengerahkan banyak orang dan menang pertarungan tanpa harus menghinakan”.
Cukup bagus bukan ngendiko jowo diatas kita gunakan sebagai pegangan untuk menemukan jati diri siapa kita sebenarnya. Tak usah telalu berlebih harta untuk menjadi orang pintar, tak perlu kita berkoar-koar menunjukkan potensi kita dengan banyak ber-omong kosong kepada banyak orang, dan nggak perlu untuk mencapai suatu tujuan harus menyerimpang kaki teman sendiri dari belakang. Kalau kita memang benar-benar manusia yag berprinsip tujukkan aksimu tanpa harus malu-malu. Nggak usah takut untuk salah karena kesalahan adalah pangalaman dan pengalamn itu sendiri adalah guru yang terbaik.
Intinya temukan diri. Potensi diri. Jati diri, siapa aku? Karena kita sudah dikejar-kejar dead line yang siap terbit, kalau kita tidak segera melangkah, maka kita akan kehilngan banyak kesempatan, kehabisan banyak energi, mubadzirkan banyak potensi hanya untuk
Find Your Life.
Artikel Terkait: