Sejarah Nasionalisme di Indonesia
Indonesia pernah mengalami kejayaan pada masa kerajaan sriwijaya dan
Majapahit. Kedua kerajaan tersebut telah membawa bangsa indonesia sebagai bangsa yang merdeka bersatu, dan berdaulat. Semboyan
Bhineka tunggal Ika, meskipun berbeda-beda, tetap satu jua adanya, telah dapat diwujudkan dalam persatuan dan kesatuan yang berarti nusantara.
Semboyan Mitreka Satata (sahabat yang sederajat) dapat disamakan dengan perisip bertetangga yang baik dalam menjalin hubungan antar bangsa-bangsa. Jadi persatuan dan kesatuan bangsa serta prinsip hidup bertetangga yang baik telah terbina sejak masa kejayaan kerajaan Sriwijaya (abad ke 7-12) dan kerajaan Majapahit (abad ke 13-16).
Persatuan dan kesatuan bangsa serta perinsip bertetangga yang baik itu hancur bersamaan dengan datangnya penjajah dibumi persada ini pada permulaan abad ke 16. Penjajah Belanda dengan politik
Devide Et Impera berhasil merusak persatuan dan kesatuan bangsa, yang mengeksploitasi bangsa
Indonesia tanpa peri kemanusaiaan.
Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah antara lain dipelopori oleh Sultan Hairun, Sultan Baabullah, Imam Bonjol dan Sisingamangaraja. Namun, mereka belum berhasil mengenyahklan penjajah karena tidak adanya persatuan dan kesatuan diantara mereka. Oleh karena itu, apabila bangsa Indonesia ingin meraih kejayaan sebagai bangsa yang terhormat, salah satu caranya adalah membina persatuan dan kesatuan bangsa serta menjalin kerja sama dengan bangsa dan negara lain di dunia yang diabadikan untuk kepentingan nasional.
Nasionalisme perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam jiwa bangsa. Khususnya pemuda sebagai penerus bangsa. Pembinaan nasionalisme diarahkan untuk memupuk kecintaan masyarakat pada bangsa dan negara, sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Dengan kata lain, nilai-nilai nasionalisme telah berubah bentuk dari nilai perjuangan merebut kemerdekaan menjadi perjuangan ke arah mengisi kemerdekaan, yaitu usaha membangaun
indonesia menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahiriyah dan batiniyyah.
Nilai nasionalisme bukan hanya mengenal bela negara, pertahanan dan keamanan, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Jiwa nasionalisme perlu dikembangkan dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya. Penyesuaian semangat nasionalisme dengan kondisi populer sangat penting dikembangkan agar nila-nilai nasionalisme tetap tumbuh dan berkembang dalam jiwa bangsa Indonesia sehingga kecintaan terhadap bangsa dan negara terwujud dalam tindakan dan perbuatan untuk berusaha dan bekerja demi kesejahteraan rakyat indonesia. Nilai nasionalisme itu dapat berbetuk cinta hasil karya bangsa seni dan budaya bangsa, serta memlihara persatuan dan kesatuan dari gejala disintergrasi dan benturan sosial.
Dalam perjalananya, nasionalisme bangsa Indonesia mengalami ujian ditengah berbagai gejala politik. Setelah pengakuan kedaulatan 1949, bangsa indonesia dihadapkan pada gerakan separatis diberbagai tanah air hingga akhirnya memuncak dengan terjadinya tragedi nasional 30 september 1965. pada masa orde baru, terjadilah apa yang disebut greedy state, yaitu peristiwa dimana negara betul-betul mengusai rakyat. “Dalam situasi ini, nasionalisme seakan ditekan ke bawah karpet atas nama stabilitas politik dan ekonomi.” Tahun 1998, terjadi reformasi yang memorak porandakan stabilitas semua orde baru. Namun, masa ini kemudian diikuti krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Nasionalisme bangsa
indonesia yang dicita-citakan Wahidin, memang sempat terwujudkan sampai mencapai titik balik saat sudah mengalami kemerdekaan. Kalau dulu sejak Boedi Oetomo berdiri nasionalisme bangsa indonesia makin meningkat karena jelas tujuannnya yaitu ingin mengusir penjajah. Setelah merdeka tidak memiliki musuh bersama lagi sehingga menyebabkan memudarnya rsa nasionalisme. Rasa nasionalisme memang sempat bangkit pada beberapa kasus tertentu.
Nasionalisme dan Pemuda Sekarang
Pembahasan tentang rasa nasionalisme generasi muda indonesia semakin hilang sepertinya masih jarang di lakukan. Namun setelah penulis melakukan telaah terhadap beberapa penelitian ada beberapa yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. Beberapa penelitian tentang kenapa rasa nasionalisme terasa semakin hilang di karenakan generasi pemuda indonesia di karenakan generasi pemuda indonesia merasa tidak mendapat perlindungan yang sama dari negara. Sering kali merasa seperti tidak mendapat perlindungan hukum tapi cenderung mendapat hukuman yang setiap saat mengintai.
Rasa itu dapat di contohkan pada Lapindo berantas di sidoharjo,jawa timur yang sampai sakarang belum bisa terselesaikan sampai sekarang, banyak yang bermain sehingga yang betul-betul kena musibah terabaikan, bahasa jawanya”ngenes” punya rumah, tanah di beli dengan susah payah hilang begitu saja, nurani negara di mana? Di mana negara cinta rakyatnya? Seharusnya direlokalisasi atau diganti dipindahkan dan dibuatkan rumah yang layak seperti redia kala, tanah hilang ganti tanah, perusahaan LAPINDO BRANTAS kan sangat besar nego jalan terbaik jangan merugikan orang lain. Rakyat rasanya hanya diwajibkan tetapi hak tidak punya. Sering kali dipermainkan aparat dengan pasal sampah. Mau bicara apa lagi agar rakyat timbul rasa cinta tanah air yang dari lubuk hati karena keadaan demikian. Cinta itu tumbuh dengan sendirinya tidak harus di wajibkan dengan wamil dan lainnya.
Contoh lain misalnya punya POM bensin di purwokerto tahun 1980 harus keluar dari tengah kota, pindah ke pinggir kota, bangkrut kena sepi pembeli. Tahun 2007 di bangun POM bensin di tengah KOTA padat penduduk izin keluar. Membuat sakit HATI yang bangkrut. Kenapa bisa begitu? Kabar-kabar tanahnya pun rampasan dari yayasan
china indonesia mengapa yang mengheluarkan sertifikat tidak kena tindakan hukum.
Solo(berita): saat ini rasa nasionalisme bangsa indonesia bangsa indonesia sedang menghadapi tantangan yang berat, karena adanya perubahan yang terjadi di dunia internasional maupun yang terjadi di negeri ini sendiri. Perubahan itu mengakibatkan rasa nasionalisme pada posisi yang terjepit dan semakin terasa memudar, kata Dirjen sarana komunikasi dan Diseminasi informasi Departeman Komunikasi dan informatika widiatnyana merati, pada sarasehan menggeloran jiwa dan semangat kebangsaan nasional di monumen pers. Ia mengatakan bahwa tantangan pertama terhadap naisonalisme adalah globalisasi yang difasilitasi kemajuan tegnologi komunikasi dan informasi yang berlangsung makin penetratif ke segala sudut dunia.
Menurutnya kendati penggerak utama globalisasi saat ini sama seperti era kolonialisme yaitu kapitalisme yang pada dasarnya agresif dan eksploitati, namun tampilannya manis dan menawan serta bersahabat seperti penonjolan hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan liberalisasi politik serta perdagangan fenomena globalisasi tersebut,kata dia, juga melanda indonesia dan membawa serta dampak yang dapat merugikan nasionalisme negeri.
Globalisasi yang merupakan proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial dan ekonomi manusia yang mengarah kepada satu pusat budaya kosmopolitan, telah mendesakkan uniformitas secara unifersal. Hal itu secara perlahan, namun pasti. Proses unifersalisasi ini mengikas batas-batas identitas individu dan secara hampir bersamaan melalui liberalisasi ekonomi dan demokrasi di tingkat global maupun nasional, kata dia, pengaruh globalisasi tersebut, cenderung menguak sikap konsumerisme dan individualisme, serta mereduksi semangat kolektifitas yang memunculkan gejala penolakan terhadap konsep persatuan dan kesatuan sebagai sebuah dogma.
Menurut dia, tantangan lain juga merupakan ancaman terhadap nasionalisme yang muncul dari dalam negeri sendiri melalui reformasi yang sedang berlangsung saat ini. Reformasi yang menghendaki adanya demokrasi di segala bidang, oleh sebagian kalangan masyarakat ditafsirkan secara berlebihan dan begitu
bebas, sehingga menganggap di era reformasi ini bebas melakukan apa saja tanpa batas,”kata. Gejala semacam mendewakan demokrasi dan kebebasan padahal etos demokrasi yang berlebihan dapat melembagakan dan membudayakan modus menghalalkan segala cara mencapai tujuan. Demokrasi sebenarnya hanyalah cara untuk mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri. Karena itu aktualisasi demokrasi dan kebebasan yang tanpa batas dapat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.
Penelitian dan pembahasan oleh pemuda indonesia dalam menegakkan kembali ideal nasionaliosme terbukti pada gerakan sumpah pemuda yang di laksanakan pada 28 oktober 1928 adalah proklamasi kebangsaan indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme bangsa indonesia yang mencapai titik kulminasi pada 17 agustus 1945 yang di kumandangkan oleh proklamator kita soekarno-hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme bangsa indonesia menjadi faktor penentu perkembangan sejarah indonesia-
sejarah berdirinya NKRI .
Substansi nasionalisme mempunyai dua unsur: pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik,dan agama.kedua; kesadaran bersama bangsa indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi indonesia. Semangat dari dua substansi yang kemudian tercermin dalam proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas di katakan,”segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Bicara tentang nasionalisme indonesia, kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme barat.sebab nasionalisme indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi pada pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan toleransi kepada bangsa /suku bangsa lain. Maka nasionalisme berbeda dengan nasionalisme barat yang bisa menjurus ke sovinisme –nasionalisme sempit yang membenci bangsa/ suku bangsa lain,menganggap bangsa/ suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll.sesuai dengan individualisme barat.
Nasionalisme indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa indonesia tahap nation building telah tercapai dan bersiap siaga untuk menuju tahapberikutnya-state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawanpemberontakan-pemberontakan dan sia-sia kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim orde baru
Jendral Soeharto
Dewasa ini harus di akui kesadaran nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pambenahannya akan mempunyai damoak terhadap persatuan dan kesatuan negara indonesia. Dengan kilas balik ke
sejarah lampau, kita melihat kelas bahwa selama indonesia dalam kekuatan rezim orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran- militer yang anti demokrasi, anti nasional,anti HAM anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionaliame indonesia.
Kekuasaan tersebut menggunakan pendekatan kekerasan yang telah mematikan inisiatif dan kreatifitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain rezim orba tersebut menumbuhkan kebencian raktat mendasar, terutama rakyat luar jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim orba/rezim soeharto kolonialisme ini jika di bandingkan dengan penjajahan kolonialisme belanda relatif pendek. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa
SARA, :misalnya antara suku dayak dengan suku madura (di kalimantan), antara umat kristen dengan ummat
Islam (di maluku dan sulawesi),penganiayaan fisik dan pengrusakan harta benda etnik
tionghoa (di jakarta) dll. -
Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut adalah kekuasaan rezim orde baru di bawah pimpinan jendral soeharto. Tanpa mengetahui sumber mala petaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme indonesiayang sedang sakit tersebut.
Sedang hujatan-hujatan terhadap “pusat” tanpa kejelasan psat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger,yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini.Mengacu pada uraian di atas pusat harus diartikan kekuasaan rezim orba (termasuk rezim habibie). Akan benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintah megawati di masukkan dalam kategori pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba, sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemeritahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adlah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba.
Kedua pmerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapapun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapapun perbaikan,itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata “pusat” diidentikan dengan suku jawa (sehingga timbul tuhan dijajah oleh jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-jawa terhadap suku jawa.
Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retak ideal nasionalisme indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim orde baru/soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah. Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme yang rentan manipulasi, pun hukum, demokrasi, humanisme, keadilan, pancasila demikian juga.
Kerentanan itu harus di pandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja dapat di manipulsi oleh rezim orde baru kalau itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.
Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu orde baru.
Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasaan rezim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannyaakan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik tidak itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus-hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme
indonesia yang sedang sakit dewasa ini.
Baca juga :
Artikel Terkait: