K.H. Suyuthi Abdul Qadir (yang selanjutnya dipanggil Kyai Suyuthi) lahir pada tahun 1904 (tepatnya pada tanggal 4 Dzulqaidah) di desa Guyangan. Sebuah Desa di sebelah utara Kota Pati, di pinggiran pesisir kecamatan Trangkil. Beliau terlahir dari pasangan K.H. Abdul Qadir dengan Ibu Nyai Hj. Arum.
Sejak kecil beliau sudah dikenal masyarakat luas sebagai sosok anak cerdas, jujur serta ramah pada sesamanya. Beliau adalah figur berbudi luhur dan bisa ngemong masyarkat. Sehinga tak heran jika penduduk disekelilingnya begitu kagum dan bangga kepadanya. Dan perjuangan dakwah semasa hayatnya mengantarkan beliau menjadi sosok kharismatik di dalam masyarakat.
Sejak kecil,
Kyai Suyuthi sudah serius belajar agama melalui orang tuanya sendiri. Belajar dengan orang tua sendiri membuat dia merasa tidak cukup untuk menimba ilmu. Sehingga kemudian untuk mempertajam pengetahuannya beliau merasa perlu menimba ilmu di Pesantren.
Setelah berumur 15 tahun, atas restu orang tua dan keluarganya beliau mengaji di Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Jamseran Solo. Di pesantren ini beliau diasuh oleh Kyai H. Idris selama tiga tahun. Meskipun tergolong santri yang relatif muda, namun beliau mampu berkontestasi dengan teman-temannya dan tergolong santri yang berkualitas.
Pada tahun 1923-1924, beliau melanjutkan belajarnya di pondok Pesantren Kasingan
Rembang, dan diasuh oleh Bapak K.H. Kholil dan K.H. Mas’ud selama 2 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1924-1926 beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jatim, di bawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU).
Pada tahun 1926-1927, beliau melanjutkan mengaji di Pondok Pesantren Sampang Madura dan diasuh oleh K.H. Munawir selama dua tahun. Di Madura ini di samping belajar dan mengaji beliau juga menghafal al-Qur’an. Akhirnya pada tahun 1927, beliau berangkat ke Makkah untuk mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji. Beliau berada di Makkah kurang lebih sekitar 5 tahun.
Selama masa itu beliau juga turut membantu untuk mengajar di pondokan yang beliau tempati. Pada tahun 1931 sepulang dari Makkah, beliau kembali mengaji di Pondok Pesantren Sedayu Gresik Jatimdan diasuh oleh K. H. Munawir selama 3 tahun hingga tahun 1933.
Setelah sekian lama berekspedisi dari pesantren ke pesantren, pada tahun 1933-1937, beliau kembali lagi mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng dan diasuh langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari selama empat tahun.
Karena kecerdasan dan kualitas ilmunya, maka beliau mendapat kepercayaan dari K.H. Hasyim Asy’ari untuk membantu mengajar, bahkan sering ditunjuk mewakilinya dalam pertemuan-pertemuan tokoh ulama.
Membangun Pesantren, Mengurus Umat Setelah berpetualang di berbagai Pondok Pesantren, beliau pulang dengan hasrat yang tinggi membangun pendidikan masyarakat desanya. Tanpa menunggu lama, beliau mulai mengajar para santri dan masyarakat di sekitar desa kelahirannya. Boleh dibilang, saat itu pendidikan masyarakat sekitar masih minim termasuk pendidikan agama belumlah begitu maju.
Kondisi masyarakat yang seperti itu, justru semakin membakar spirit beliau untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh selama ini.
Hari demi hari jumlah santri yang menimba ilmu dengan beliau bertambah banyak. Rumah beliau yang dijadikan tempat mengaji pun tak mampu menampung para santrinya. Dengan kondisi seperti itu, akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren dan madrasah sebagai wadah yang bisa menampung para santri dari berbagai penjuru. Karena yang mengaji dengan beliau tak terbatas hanya dari desa Guyangan. Sehingga eksistensi bangunan pondok pesantren dan madrasah tentu sangat krusial sebagai infrastruktur yang menunjang jalannya proses pendidikan.
Akhirnya sekitar tahun 1932-1940 di masa penjajahan Belanda hingga penjajahan
Jepang beliau mendirikan madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Mambaul Ulum (sumber Ilmu). Bangunan pondok pesantren dan madrasah tersebut terletak di komplek masjid Desa Guyangan.
Karena situasi yang tidak kondusif saat itu, akhirnya aktivitas pendidikan di madrasah tersebut terbengkelai. Namun, hal tersebut tidak mengurangi tekad beliau dalam mengajar walau dalam keadaan yang serba sederhana. Sampai akhirnya pada masa kemerdekaan tepatnya pada awal tahun 1950 dengan dibantu rekan-rekan dan santri senior, madrasah tersebut bangkit kembali dengan berubah nama menjadi Madrasah Raudlatul Ulum (MRU).
Banyak harapan yang ingin beliau realisasikan melalui pendidikan di madrasah ini. Beliau mendambakan generasi bangsa ini memiliki moralitas dan budi pekerti yang baik serta menjadi manusia yang berkualitas. Madrasah ini diharapkan mampu menjadi media untuk memberantas kebodohan. Secara tidak langsung Kyai
Suyuthi menginginkan agar pendidikan Islam memiliki visi untuk mencetak manusia yang kreatif dan produktif, karena manusia yang seperti inilah yang kemudian ditunggu kehadirannya baik secara individual maupun sosial. Sehingga dunia pendidikan harus mampu mencetak manusia-manusia yang bisa memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat.
Dalam perjalanannya, madrasah tersebut semakin menampakkan eksistensinya dan terlihat dominan. Dengan perkembangan sepesat ini pada tanggal 26 Januari 1972, Madrasah Raudlatul Ulum resmi menjadi Yayasan Perguruan Islam Raudlatul Ulum (YPRU) dengan akte tertanggal 26 Januari 1972 yang dibuat dihadapan notaris R.M. Poerbo Koesoemo di Kudus.
Sekarang ini, tentu kita bisa menyaksikan bagaimana berkah yang ditinggalkan Kyai
Suyuthi, YPRU kini dilengkapi dengan fasilitas infrastruktur yang megah, menjadi salah satu yayasan yang paling banyak diminati di Kabupaten Pati.
Sudah menjadi common sense bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial. Kyai
Suyuthi adalah sosok yang memegang kuat dua nilai tersebut. Beliau adalah seorang yang alim, suka menolong orang yang hidupnya kekurangan.
Beliau senantiasa ikhlas memberi apa yang mampu diberikan.
Sebagai bagian dari wujud kepekaan sosialnya, ditengah kesibukannya, beliau selalu berusaha untuk menghadiri setiap undangan masyarakat. Ada cerita menarik di tahun 1970-an, beliau diundang kondangan (hajatan) oleh seorang penduduk yang rumahnya terpencil dan jauh dari jalan raya. Lebih parahnya lagi waktu itu kondisinya sedang banjir sehingga di sekitar rumah sohibul hajat tergenang air hingga lutut. Banyak yang menyangka dan bahkan memastikan bahwa Kyai Suyuthi tidak berkenan hadir karena banjir hampir masuk rumah. Namun tak terduga dari kejauhan Kyai
Suyuthi nampak datang dengan mengangkat sarungnya sampai lutut beliau kelihatan. Begitu terharunya orang tersebut sampai menangis karena tak mengira Kyai Suyuthi masih menyempatkan hadir ke rumahnya.
Kyai Suyuthi dikenal sebagai ulama yang ramah, sehingga di kalangan Kyai saat itu beliau cukup disegani. Di antara Kyai yang dikenal dekat dengan beliau antara lain;
K.H. Bisri Musthofa, K.H. Bisri Syamsuri (kakek
Gus Dur). Masyarakat mengenal beliau sebagai pendiri Yayasan Perguruan Islam Raudlatul Ulum yang aktif aktif dalam beorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU cabang Pati pada tahun 1960-an sampai beliau wafat.
Selain itu, beliau juga pernah terlibat dalam percaturan politik, beliau pernah menjadi aggota DPRD pada tahun 1960-an. Tidak seperti politisi sekarang ini yang sangat ambisius dengan kekuasaan, beliau justru mengundurkan diri, beliau menjabat kira-kira hanya setengah tahun. Pilihan ini membawa beliau lebih bekonsentrasi dalam mengelola pesantren. Dengan demikian masyarakat semakin percaya bahwa Kyai
Suyuthi adalah seorang ulama yang benar-benar mengurusi umat dan berjuang untuk mereka sepi ing pamrih.
Banyaknya kesibukan dan usia yang semakin bertambah membuat beliau mulai sakit-sakitan yang puncaknya sampai dirawat di rumah sakit dr. Karyadi Semarang. Akhirnya beliau dipanggil oleh Allah swt, tepatnya hari Selasa 25 September 1979 atau bertepatan 04 dzulqa’dah. Rasa pilu menghampiri keluarga, sahabat dan para santrinya. Puluhan ribu kepala tertunduk pilu kehilangan seorang ulama besar tempat sandaran meminta nasehat. Bagaianapun dukanya semua itu adalah ketetapan Allah yang harus diterima penuh keikhlasan.
Berita wafatnya segera menyebar ke mana-mana sehingga seluruh masyarakat yang mengetahui perjuangan beliau berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Pada saat beliau dikebumikan, puluhan ribu orang berduyun-duyun mengantarkan ke pemakaman.
Peran yang dilakukan oleh Kyai Suyuthi semasa hidupnya adalah bukti bahwa Kyai merupakan tokoh utama yang menjadi panutan masyarakat. Kyai tidak hanya menjadi tempat meminta nasehat dalam masalah agama, tapi juga dalam masalah sosial-kemasyarakatan. Sehingga tidak berlebihan jika kemudian kita menyebut kyai sosok pembawa agenda perubahan sosial keagamaan, karena sebuah perubahan sosial keagamaan tentu sangat membutuhkan partisipasi kiyai. Perjuangan Kiyai adalah perjuangan untuk umat, tidak untuk “yang lain”.