Kalau anda menghadiri pesta pernikahan yang masih ada bau adat jawanya, tentu anda akan melihat dua batang pisang di terop depan. dari beberapa pengamatan, pohon pisang yang disarankan adalah pisang raja dan pisang isi (klutuk), sebagai lambang mempelai pria dan mempelai wanita. Kalau pisang ini tidak ada, bisa digantikan dengan jenis pisang yang lain.
Sudah menjadi kebiasaan kita ketika melihat fenomena yang berulang sering muncul pertanyaan "kenapa?" begitu juga ketika melihat setiap ada
walimah ursy selalu ada pohon pisang. "Kenapa pohon pisang? Ada apa dengan pohon pisang? Bagaimana kalau pohon pisang sudah tidak ada lagi dan diganti pohon lain?"
Bukan hanya pohon pisang saja, tapi juga janur, kembang mayang, anyaman bambu, ranting beringin, sampai makanan yang kerap disediakan, seperti kucur, rengginang, onde-onde, jadah, gemblong, matahari, krupuk opak, tape ketan dan berbagai macam lagi. Tetapi yang menjadi simbol utama bagi pengantin adalah pohon pisang yang sudah berbuah atau yang sudah matang buahnya.
Dalam dunia pewayangan juga dapat kita lihat pohon pisang di sebelah kanan dan kiri kelir (layar). Begitu juga batang pohon pisang yang menjadi tempat menancapkan wayang, dan sebagai makna tubuh manusia. Wayang (bayangan, ruh) memang baru bicara jika sudah menancap dibatang pisang, ruh bersatu dengan tubuh dalam menjalani hidup. Untuk itulah dalam beberapa peristiwa kematian yang tidak wajar, tubuh si mayit nampak atau berubah menjadi gedebok (batang pohon pisang). Yang berarti si mayit selam hidupnya hanya mementingkan tubuh jasmaninya saja.
Ada dua keunikan pohon pisang yang tidak dimiliki pohon lain. Pertama, sekalipun kita tebang berulang kali, ia akan terus tumbuh, asal bonggolnya masih ada. Kedua, ia baru akan mati setelah berubah, dan membusuk dengan sendirinya sekalipun tanpa ditebang. Ini mengingatkan kita semua pada sebuah pepetah "Hidup sekali, Hiduplah yang berarti"
Kata "pisang" juga berarti "pisan"(sekali). Hidup hanya sekali untuk memberi buah, tidak akan mati sebelum berbuah. Nabi Muhammad SAW juga bersabda. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (yang lain)." Dalam hadist Nabi SAW. di atas pun adalah anfa'unhum lin-nas (yang paling memberi manfaat untuk manusia), tidak peduli berbeda agama, beda suku, beda warna kulit.
Tentu inilah yang hendak dipesankan oleh pendahulu kita terhadap para pengantin yang akan menjalani hidup berdua. Agar para pengantin dapat belajar untuk lebih dari sekedar pohon pisang. Seolah pohon pisang berkata, "Hiduplah terus dengan memberi manfaat kepada sesama manusia. Jangan mati sebelum berbuah. Jangan mati hati, jangan mati semangat, sekalipun dicurangi, difitnah, dibenci, sekalipun berkali-kali harus "dibunuh", dihalang-halangi niat baiknya"
Kalau bernama manusia (nas) tetapi tidak memberi manfaat kepada yang lain, dan tidak belajar seperti pohon pisang tetapi doyan pisang, mungkin ia monyet (nasnas). Tangannya lebih panjang dari kakinya, lebih suka usil, suka ngrayah dan merampas milik orang lain. Mulutnya lebih maju ke depan daripada hidungnya, yang berarti tak punya perasaan, tak ada rasa simpati dan empati; lebar mulutnya, malah banyak bicara; tetapi pendek kakinya, pendek langkahnya, tidak banyak berbuat.
"Pengantin Pohon Pisang" adalah orang-orang yang hatinya dipenuhi cinta dan kerinduan-bak pengantin baru-kepada inti dalam tubuhnya ('Aresy), yang dilindungi berlapis-lapis tujuh langit tujuh bumi. Selalu rindu kepada fitrah asalanya, kepada asal muasalnya. dari Aresy ini terus bersambung kepada jantung pisang, jatung hati. Dengan suara hatilah ia bekerja, dari jantung-hatilah ia berubah, berbuat kebaikan untuk siapa saja yang memetiknya.
Artikel Terkait: