Poligami khususnya dalam Islam adalah aturan moralitas dan manusiawi. Dikatakan bermoral karena tidak membiarkan pria berhubungan dengan wanita sekehendaknya kapan saja dia mau, tetapi harus ada akad, saksi-saksi, mahar dan hak-kewajiban. Dikatakan manusiawi karena dengan poligami pria telah meringankan beban masyarakat dengan memasukkan lebih dari satu wanita ke dalam rumahnya dan tanggung jawabnya.
Dia menjamin nafkah dan kebutuhannya, memindahkannya ke dalam deretan istri-istri yang terjaga nama baiknya, melekatkan padanya nasab anak-anak mereka, memberi nafkah kepada mereka, dan mendidik dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus.
Dengan demikian dia telah memberikan pada masyarakatnya buah cinta yang mulia. Dia bangga akan mereka, dan umat juga bangga akan mereka di masa depan. Andaikata tidak ada pernikahan tentu tidak akan ada keistimewaan-keistimewaan ini, dan anak-anak menjadi beban bagi masyarakat, sekaligus aib dan kenistaan bagi pria pendosa yang dibenci.
Poligami di barat tidak bermoral dan tidak menuasiawi. Bagaimana realitas poligami yang terjadi dalam kehidupan orang-orang barat. Salah seorang penulis barat menantang mereka agar salah seorang dari mereka ketika sedang di atas ranjang kematian dan menyampaikan pengakuan kepada dukun. Baranikah seorang dari mereka mengaku kepada dukun bahwa dia tidak pernah berhubugan dengan wanita kecuali istrinya, meski hanya sekali.
Poligami pada orang-orang barat terjadi tanpa undang-undang, meskipun tejadi di bawah pendengaran dan penglihatan undang-undang. Poligami tersebut tidak disebut dengan sebutan istri-istri tetapi dengan sebutan teman dekat atau pacar (girl friend). Poligami demikian ini tidak terbatas hanya pada empat orang, tetapi sampai hitungan tak terbatas, dan tidak secara terang-terangan sehingga keluarga gembira tapi secara rahasia yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan saja.
Pelaku poligami tidak memikul tanggungjawab apapun terhadap wanita-wanita yang dikencani. Dia hanya mengotori kehormatan mereka lalu meninggalkan mereka dalam keadaan kenistaan, cela, kekurangan, menanggung derita mengandung, dan melahirkan diluar yang diatur. Pelaku poligami ini juga tidak wajib mengaku anak-anak yang lahir sebagai hasil hubungannya sehingga mereka itu dikategorikan sebagai anak-anak di luar aturan pernikahan yang sah dan merekapun menanggung beban kenistaan perzinaan selam hidup.
Sungguh poligami sedemikian ini adalah poligami yang didorong oleh syahwat dan egoisme, dan lari dari tanggungjawab apapun. Manakah diantara dau aturan tersebut yang lebih lekat dengan moral, lebih mengendalikan syahwat, lebih mulia bagi wanit, lebih menandakan kemajuan, dan lebih baik dari kemanusiaan.
Artikel Terkait: