Masyarakat Tionghoa di Jawa sudah datang jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Akan tetapi, segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa dan juga di beberapa daerah lain yang kita kenal sekarang ini, bentuk perilaku dan seterusnya, berasal dari zaman kolonial, dari zaman Hindia Belanda. Kedua bangsa tersebut (Cina dan Belanda) sebenarnya datang ke Indonesia sama-sama untuk berdagang. Belanda dalam bentuk VOC datang untuk melakukan perdagangan, dan orang-orang Cina datang ke Indonesia juga untuk melakukan perdagangan.
Sebenarnya keduanya berasal dari suatu peradaban yang kira-kira sama. Baik Belanda maupun Cina datang dari latar belakang kota yang dikelilingi "dinding". Pertanyaan ini memang aneh kedengarannya, namun itulah realitanya. Karena berbagi hal dan insiden, sejak permulaan, orang-orang Cina ini menjadi mitra dagang Belanda.
Pada awalnya, Belanda datang ke Indonesia tidak secara besar-besaran. Oleh karena itu, kekuatan asing itu selalu memerlukan mitra-mitra dagang. Cina menjadi mitra dagang Belanda, khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perdagangan perantara. Itulah sebabnya orang-orang Cina menguasai perdagangan perantara. Dari kegiatannya mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa, orang Cina mendapat uang tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang kecil yang biasa untuk membeli barang-barang di desa. Kemudian mereka menjualnya ke VOC di kota. inilah yang mempererat hubungan orang-orang Cina dengan orang-orang Belanda.
Selain itu, bahwa yang harus diingat kalau kita bicara mengenai orang Cina adalah bahwa orang Cina ini bukan suatu golongan yang homogen atau sama semuanya. Ada berbagai pengaruh dari pola imigrasi. Umpamanya Cina berimigrasi ke Pulau Jawa, Cinanya datang secara perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Oleh karena itu, interaksi dengan penduduk yang padat sekali, sedikit banyak terintegrasi di dalam masyarakat. Di Jawa, orang Cina biasanya tidak merasa Cina. Mereka kehilangan bahasa setelah satu dua generasi, seperti orang Jawa yang di Jakarta yang juga kehilangan bahasa Jawanya setelah satu dua generasi.
Fenomena Jawa tersebut sangat biasa kita jumpai saat ini, biasanya orang Jawa akan menyebutnya "Jowo tapi ora Jawani". Biarpun kedua orang tuanya Jawa. Jadi, lingkungan ikut menentukan Di Sumatra Utara, misalnya di sekitar Medan, etnis Cina didatangkan per-komunitas seperti bedol desa dari Cina, dari kelompok-kelompok yang besar interaksi mereka dengan penduduk setempat juga sangat baik, karena penduduk setempat tidak begitu padat. Masyarakat pribumi, di sana bisa menerima komunitas-komunitas Cina tetap berbahasa Cina dan seterusnya (Berbudaya Cina). Istilah Cina peranakan dan Cina totok sebenarnya hanya berlaku di Jawa.
Di Kalimantan Barat, boleh dikatakan, bahwa orang-orang Cina itu yang pribumi. Di sana, pertama-tama Belanda berperang dengan Cina. Ketika meluaskan daerah kolonialnya Belanda tidak berperang dengan sultan-sultan atau suku-suku setempat, tetapi justru dengan Cina. Berbeda dengan masyarakat di Sulawesi Utara atau Maluku. Di Indonesia timur, kecuali Sulawesi Selatan, pada umumnya boleh dikatakan tidak ada masalah Cina. Di Manado, misalnya, antara penduduk setempat dan keturunan Cina tidak ada perbedaan. Sama halnya di Asia Tenggara lainnya seperti di Filipina atau di Thailand.
Hal lain yang juga mencolok adalah heterogenitas masyarakat Cina itu sendiri : ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang Islam, ada yang Katolik, ada yang Protestan, ada yang Budhis dan seterusnya. Jadi, boleh dikatakan bahwa masyarakat Cina ini hampir semajemuk masyarakat Indonesia. seperti halnya masyarakat (asli) Indonesia, masyarakat Cina di Indonesia juga merupakan suatu masyarakat yang sangat majemuk. Mereka, sebenarnya juga berasal dari berbagai macam keturunan dan ras.
Artikel Terkait: