Oleh : Munawir aziz
Dalam jagad kesenian negeri ini, ketoprak menjadi salah satu icon penting yang menyuguhkan lakon cerita tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan. Ketoprak menjadi media pertunjukan untuk mementaskan cerita dalam labirin kehidupan dan kearifan Jawa. Ketoprak menjadi media hiburan bagi warga di tengah keringnya kehidupan manusia akibat krisis yang membelit. Semacam oase yang menyejukkan kehidupan warga, media hiburan alternatif yang tetap menguarkan nilai-nilai sejarah dalam setiap fragmen, kearifan lokal dan sindiran kebudayaan yang kental. Di tengah gempuran media radio, televisi, internet dan media lainnya, Ketoprak senantiasa eksis dalam derap kehidupan warga di berbagai daerah.
Selain menjadi media hiburan, pertunjukan ketoprak juga menjadi media alternatif transfer cerita sejarah kepada masyarakat. Umumnya, lakon-lakon yang dipentaskan kesenian ketoprak seputar babad, legenda maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah. Cerita-cerita inilah yang kemudian menjadi kokoh dalam kehidupan warga. Cerita tentang kehidupan kerajaan Majapahit, kerajaan Airlangga, kerajaan Demak, kerajaan Ngayogjokarto, tentang kepahlawanan Gajah Mada, Adipati Unus, perjuangan Walisanga, maupun kisah unik jejak kehidupan tokoh Saridin (Syeh Jangkung) dan cerita lain yang familiar dalam kehidupan warga. Dengan demikian, kesenian ketoprak menjadi media penting yang senantiasa menjadi sejarah manusia agar tetap abadi. Pada titik inilah, perjuangan penggiat seni ketoprak patut diapresiasi. Di tengah krisis kebudayaan bangsa ini, perjuangan penggiat kesenian lokal menjadi “ijtihad” penting, agar kesenian dan kekayaan
budaya negeri ini menjadi identitas kemanusiaan bangsa.
Akan tetapi, perjuangan pekerja seni ketoprak dalam ngugemi (menjaga) nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dan rekaman sejarah tak sebanding dengan apresiasi yang diterima. Penggiat ketoprak senantiasa asing dari gelegar penghargaan kesenian dan kebudayaan negeri ini. Perjalanan kehidupan penggiat ketoprak senantiasa dibayangi mendung hitam, hal ini dikarenakan biaya hidup semakin tinggi dan hasil pertunjukan kesenian ketoprak semakin memprihatinkan (Sucipto HP, 2008). Padahal, besarnya insentif (upah) penggiat ketoprak ditentukan banyaknya pagelaran yang dijalani. Tanpa adanya panggilan pertunjukan, penghasilan penggiat ketoprak akan berhenti total. Inilah tragedi kehidupan pekerja kesenian negeri, di tengah agenda nasional dalam mengapresiasi khazanah kebudayaan bangsa.
Kesenian Ketoprak tumbuh di berbagai daerah di pulau Jawa. Umumnya, grup kesenian ketoptak dapat ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Solo, Jogkakarta, Semarang , Pati, Kediri dan Tulungagung menjadi lumbung grup kesenian ketoprak. Grup ketoprak di berbagai daerah ini selain pentas di tobong (arena pertunjukan) juga bermain menurut panggilan dari warga. Biasanya, panggilan pentas ketoprak diadadakan dalam rangka sedekah bumi, slametan (upacara rasa syukur atas berkah Tuhan), khitanan ataupun agenda haul tokoh desa (memberi penghormatan pada tokoh desa) dan momentum lain. Agenda-agenda inilah yang menjadikan grup ketoprak dapat “bernafas lega”.
Kerja Kreatif
Grup kesenian ketoprak membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar senantiasa eksis dalam jagad kebudayaan bangsa. Apreasiasi inilah yang akan memperbesar pangsa pasar ketoprak di berbagai daerah. Selain itu, penggiat Ketropak dituntut untuk kreatif dalam merespons perkembangan zaman. Cerita dalam pentas ketoprak diharapkan berkelindan dengan tuntutan penonton. Akan tetapi, naskah cerita juga harus orisinil agar tak melenceng dari struktur cerita yang telah bersemayam dalam gerak kehidupan warga.
Pada titik inilah kinerja kreatif penggiat kesenian ketoprak menemukan muaranya. Untuk itu, segmentasi pasar grup ketoprak kian diperkaya berbagai macam pilihan, untuk memenuhi selera pasar. Ketoprak konvensional yang masih memenuhi paugeran (aturan) klasik, seperti urutan cerita yang harus bermula dari jejer kraton dan dialog sepenuhnya menjadi bagian improvisasi para pemain, tetap memiliki pasar tersendiri. Selain itu, grup ketoprak yang bermetamorfosis dengan perkembangan musik dan teater kontemporer, makin diminati. Grup ketoprak seperti ini, memanggungkan naskah cerita yang sesuai dengan kondisi kehidupan warga. Sindiran yang menyentil kasus korupsi, kinerja pemerintah dan kesungguhan tokoh agama kerap terselip dalam alur cerita ketoprak. Derap kreatifitas inilah yang menjadikan grup ketoprak tetap diminati warga di berbagai daerah.
Dalam penelitian tentang kehidupan grup ketoprak di Pati Jawa Tengah (Ketoprak Pati Tak Pernah Mati), oleh Sucipto Hadi Purnomo, Dosen Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unnes Semarang, terdapat data menarik tentang gerak dinamis grup ketoprak. Di Pati, menurut Sucipto, grup ketoprak pada umumnya bukan ketoprak tobong (pentas di arena pertunjukan resmi), akan tetapi ketoprak panggilan (pentas karena ada permintaan hajatan). Ada puluhan grup ketoprak di Pati, yang tetap survive karena permintaan pasar tetap stabil. Diantaranya, Siswo Budoyo, Cahyo Mudho, Langen Marsudi Rini, Wahyu Budhoyo, Bangun Budhoyo, Ronggo Budoyo, Dwijo Gumelar, Kridho Carito, Konyik Pati, Manggala
Budaya serta beberapa grup ketoprak lain.
Grup-grup ketoprak ini mementaskan berbagai macam lakon, semisal Syeh Jangkung (Andum Waris, Geger Palembang, Ontran-ontran Cirebon, Bedhahing Ngerom, Sultan Agung Tani, Lulang Kebo Landoh), Dalang Sapanyana-Yuyu Rumpung, Babad Juwana (Dewi Rara Pujiwati Gugur, Adipati Patak Warak Mbalelo, Maling Kapa Maling Gentiri), Rara Mendut-Pranacarita, Baron Sekeber-Rara Suli, Anda Rante, Mutamakkin dan lakon lainnya. Selain itu, naskah-naskah cerita kontemporer hasil gubahan kreatif sutradara ketoprak juga banyak bermunculan. Cerita-cerita kontemporer yang merespon kondisi sosial negeri ini, menjadi “jeda” agar penonton tak bosan dengan cerita konvensional.
Grup-grup ketoprak ini biasanya pentas selain bulan Sura (Muharram) dan Pasa (Ramadhan) dalam penanggalan Jawa. Pada bulan Madilawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Sawal, Apit dan Besar, grup ketoprak laris tanggapan pentas seperti agenda pernikahan dan khitan. Bahkan, grup ketoprak Cahyo Mudo, pentas ratusan kali dalam setahun. Selama 2001, Cahyo Mudo pentas selama 161, pada 2002 tercatat 159 kali. Sedangkan pada tahun 2003 sebanyak 138 kali, pada 2004 terhitung 139 kali dan di tahun 2005 ada 122 kali. Pada tahun 2006 menjalani pentas sebanyak 140 kali tanggapan. Akan tetapi, tak semua grup ketoprak yang mendapat undangan pentas stabil setiap tahunnnya. Penggiat grup ketoprak kecil lebih banyak libur daripada menjalani tanggapan pentas. Hal inilah yang seharusnya mendapat perhatian tinggi dari warga negeri ini. Kesenian ketoprak hendaknya dilestarikan sebagai bagian kekayaan kebudayaan negeri ini.
Gerak kehidupan grup ketoprak yang semakin sempit, menjadi hal ironis di tengah agenda kebudayaan bangsa. Warga negeri ini, hendaknya mengapreasiasi grup ketoprak sebagai bagian penting khazanah kebudayaan bangsa. Warga sebaiknya tidak hanya memberikan penghargaan atas perjuangan penggiat ketoprak, akan tetapi undangan pentas lebih berarti daripada sekedar penghargaan sepintas.
Untuk itulah, apresiasi warga dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melestarikan grup ketoprak di tengah ragam kesenian negeri ini. Pemerintah hendaknya memberikan ruang apreasiasi tinggi pada kelangsungan hidup grup ketoprak, dengan membangun ruang kesenian dan mengadendakan pertujukan resmi secara kontinyu. Ruang
budaya seperti Taman Budaya Raden Saleh (Semarang), Bentara
Budaya Jogjakarta, dan Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) hendaknya dibangun di setiap daerah. Agenda kreatif wartawan Jogjakarta yang mementaskan ketoprak di Gedung Concert Hall Taman
Budaya Yogya (TBY) pada 26 Pebruari 2008 lalu, dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) menjadi titik penting untuk mensosialisasikan ketoprak dalam panggung kehidupan masyarakat.
Pertunjukan resmi kesenian ketoprak atas prakarsa pemerintah daerah akan memberikan kesejukan bagi penggiat kesenian ketoprak. Dengan demikian, publik akan lebih mengenal ketoprak sebagai kesenian yang memanggungkan kearifan dan nilai-nilai etika kehidupan. Apresiasi warga dan dukungan pemerintah inilah, yang menjadikan grup ketoprak di Jogjakarta , Solo, Semarang , Pati, Kediri dan Tulungagung serta daerah lain senantiasa berdenyut dalam jantung kehidupan negeri ini.
______________________________________
*Local Wisdom, Media Indonesia, Sabtu, 25 April 2009
*Munawwir Aziz, Alumni Pesantren Raudlatul ‘Ulum Guyangan Trangkil Pati Jawa Tengah
Artikel Terkait: