Dalam suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah barangtentu terjadi pro dan kontra antarpihak yang bersangkutan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan akan selalu meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut dan tak jarang mereka meminta untuk membatalkannya. Seperti dalam aksi-aksi demontrasi atau dalam diaolog-dialog yang diselenggarakan pemerintah.
Tak terkecuali rencana pemerintah yang ingin membangun PLTN yang telah lama dicanangkan, pun mengalami berbagai reaksi. Kebijakan ini muncul karena pertimbangan energi listrik nasional dari berbagai sumber tidak bisa mencukupi untuk jangka panjang. Misalnya, persediaan batu bara yang makin lama akan segera habis. Selain itu efisiensi dari PLTN yang dinilai lebih oleh pemerintah dibandingkan dengan pembangkit listrik dari sumber yang lain. PLTN menurut mereka lebih hemat biaya, juga lebih ramah lingkungan. Sehingga, sementara sebagian besar kebutuhan listrik nasional tercukupi, PLTN sekaligus ikut mengurangi global warming. Terpenuhinya
listrik nasional dengan sendirinya akan memacu pertumbuhan dunia industri.
Kesiapan Indonesia
Ide pembangunan dan pengoprasian PLTN di
Indonesia berawal pada tahun 1956 dalam bentuk seminar-seminar. Kemudian pada tahun 1989, Pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa-Tengah.. PLTN ini ditargetkan akan memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Menurut pemerintah, Semenanjung Muria dipilih karena tingkat gempa serta kepadatan penduduk yang relatif rendah. Tapi karena adanya reaksi dari penduduk sekitar maka proses pembangunan menjadi tidak jelas dan akhirnya muncul isu pembangunan PLTN di wilayah Bangka Belitung. Dan seperti yang diberitakan kompas, 1 Maret 2010, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) telah menyiapkan dana Rp.159 miliar untuk studi kelayakan pembangunan di daerah tersebut.
Banyak pendapat muncul untuk menanggapi rencana pembangunan PLTN di
Indonesia. Secara umum pendapat-pendapat tersebut bisa dikelompokkan dalam dua kubu. Kubu pertama mengatakan bahwa kita belum siap untuk membangun PLTN. Lebih baik sumber energi lain dioptimalkan terlebih dahulu. Kubu kedua percaya bahwa kita sudah mampu memiliki PLTN karena tenaga ahli sudah ada di negeri ini. Dan kalau tidak sekarang kapan lagi kita akan mempersiapkan cadangan energi listrik untuk jangka panjang. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Turki sudah mulai merencanakan pembangunan PLTN yang secara teknologi sudah terbukti aman jika berlangsung dalam kondisi normal. Kecelakaan terjadi antara lain karena kesalahan manusia yang mengoperasikanya seperti di Chernobyl atau karena bencana alam seperti tsunami di Jepang.
Dengan melihat rencana pemerintah yang tetap ingin membangun PLTN berarti ada pihak yang merasa sudah siap untuk terlibat di dalamnya khususnya dalam bidang nuklir sendiri. Sarjana-sarjana fisika dan ahli-ahli nuklir di
Indonesia juga tidak sedikit jumlahnya. Jadi, dengan adanya PLTN akan menyerap tenaga mereka. Pemerintah juga telah melakukan survei diberbagai daerah untuk memilih lokasi yang cocok untuk mendirikan PLTN tersebut sehingga resiko bahaya yang akan dialami dapat diminimalkan.
Tapi dengan adanya reaksi dari masyarakat sekitar juga menunjukkan adanya pihak-pihak yang belum siap dengan PLTN ini. Mereka mungkin belum atau tidak siap (tidak mengerti) keilmuan tentang nuklir tapi mereka tidak siap dengan akibat yang ditimbulkan apabila terjadi “sesuatu” pada PLTN ini. Sebagai contoh gempa 8,9 skala Richter yang terjadi di pantai timur pulau Honshu, Jepang dapat menjadi pelajaran bagi kita akan bahaya nuklir apabila terjadi kecelakaan pada PLTN. Dalam kejadian itu orang-orang harus mengungsi dari daerah tersebut dalam radius 30 km. Banyak makanan yang terkena radiasi yang berlebihan dan akan membahayakan manusia apabila dikonsumsi. Ekonomi Jepang yang dulu maju dengan cepat, karena bencana tersebut menjadi turun dengan drastis.
Sebelum pembangunan direalisasikan sebaiknya kita harus benar-benar mengetahui kualitas pemahaman kita mengenai nuklir. Jangan hanya melihat keuntungan yang di peroleh dari pembangunan PLTN saja atau hanya karena menyerap tenaga kerja, agar tidak terkesan tergesa-gesa. Pemilihan lokasi juga harus dilakukan dengan tidak hanya mempertimbangkan faktor teknis saja, tapi masyarakat sekitar juga harus menjadi pertimbangan karena mereka adalah orang pertama yang akan terkena dampak langsung. Jadi pemerintah harus tahu sejauh mana pengkajian lokasi tersebut dilakukan
Dari berberapa bencana alam yang telah terjadi misalnya tsunami di Aceh dan letusan Gunung Merapi kita dapat melihat seberapa siapkah kita untuk mengatasi akibat bencana alam tersebut. Dan dari kejadian itu kita dapat membayangkan apabila hal yang serupa seperti di Jepang atau Cernobil terjadi pada kita seandainya pembangunan PLTN benar-benar dilaksanakan.
Optimalisasi potensi
Keadaan geografis
Indonesia adalah suatu keuntungan tersendiri yang tidak dimiliki negara-negara lain sehingga Indonesia memiliki kekayaan mineral yang tinggi misalnya batu bara yang tersedia melimpah dan memiliki potensi 104 miliar ton sehingga mampu mengekspor sampai 75 persen. Selain itu Indonesia juga memiliki potensi panas bumi 28 GW dan energi laut 240 GW. Wilayah Indonesia yang sebagian besar lautan gelombang airnya juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit energi
listrik.
Dari potensi-potensi tersebut seharusnya kita tidak perlu kawatir akan kekurangan sumber daya energi, tinggal bagaimana pemerintah mampu mengoptimalkan penggunaanya untuk kesejahteraan rakyat. Jadi masalah utama
Indonesia bukan pada minimnya sumber daya energi, tapi kita yang belum mampu menemukan jalan keluar untuk bagaimana memanfaatkan sumber energi tersebut dengan baik dan maksimal.
Masalah ini hanya dapat diselesaikan apabila terdapat kesamaan cara pandang antara dua lapis masyarakat yakni pemerintah dan rakyatnya . Misalnya saja dalam masalah pembangunan PLTN di lereng Gunung Muria yang tidak terdapat titik temu antara pemerintah dan masyarakat, hal ini karena masyarakat setempat merasa dirugikan dan takut dengan adanya PLTN tersebut. Jadi pembangunan PLTN di
Indonesia belum diperlukan karena PLTN bisa dibangun jika Indonesia sudah siap secara keseluruhan bukan beberapa pihak saja yang siap. Selain itu Indonesia masih memiliki sumber energi yang cukup banyak, lebih murah dan memiliki resiko yang relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tenaga nuklir.
_______________________