Asal mula masalah anti Cina dan Cina sebagai
"asing", seperti banyak hal di Indonesia modern., berakar pada zaman kolonial. Hindia Belanda membagi masyarakat ke dalam tiga golongan rasial: Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) dan pribumi. Sampai kira-kira tahun 1910, setiap golongan ras ditetapkan tinggal di masing-masing kampung sehingga ada
kampung Cina,
Kampung Arab,
Kampung Bugis,
Kampung Melayu dan lain-lain. Pembatasan terhadap mobilitas badniah itu, bagi golongan Timur Asing seperti Cina dipertegas dengan keharusan memiliki pas jalan bagi perjalanan dari satu kampung Cina ke yang lain. Sistem pembatas bergerak itu dikenal sebagai
Passenstelsel dan
Wijkenstelsel (sistem pas jalan dan perkampungan) mengingatkan kita kepada sistem
Apartheid yang kemudian dikenal di Afrika Selatan dan kini pun ambruk juga.
Banyak dugaan dan mitos yang mengatakan bahwa golongan penduduk Cina selalu diprioritaskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, menurut ilmuwan seperti Victor Purcell dan Lea Williams, justru penguasa kolonial Belanda memiliki sentimen anti Cina yang sangat besar. Sentimen anti Cina ini memuncak pada zaman Politik Etis (1900), ketika Belanda merasa perlu melindungi penduduk pribumi terhadap "kelicinan" Cina. Sebab sepanjang sejarah, orang Cina menempati kedudukan sebagai pedagang perantara Eropa dengan pribumi dan mendominasi perdagangan di jalan-jalan utama tiap kota di Jawa. kedudukan ekonomi ini sampai sekarang tetap bertahan atau dipertahankan.
Politik kolonial anti Cina ini menyebabkan timbulnya gerakan emansipasi atau gerakan Cina-Jawa. Mereka menuntut persamaan hak dengan orang Eropa. Gerakan ini adalah yang pertama dari segolongan penduduk di masyarakat Hindia Belanda yang bergerak menghadapinya. Gerakan ini berhasil menghapuskan semua pembatas terhadap mobilitas fisik orang Cina (keharusan tinggal di kampung Cina dan pas jalan bagi orang Cina)
Kita harus ingat bahwa gerakan Cina-Jawa bergerak demi golongan Cina itu sendiri. Ini dapat dimengerti mengingat politik
apartheid pemerintah kolonial sehingga setiap golongan rasial penduduk hanya bergerak demi golongannya sendiri. Ini menjadi khas zaman pergerakan pada masa Hindia Belanda. Ketika pergerakan "nasional" timbul (1908), gerakan-gerakan itu tetap saja bergerak hanya demi tiap-tiap golongan penduduk. Misalnya, Jawa demi Jawa (
Boedi Oetomo/Jong Java), Sumatra demi Sumatra (
Jong Sumatra), Ambon demi Ambon (
Jong Ambon). Perubahan baru datang pada tahun 1920-an. Pada tahun-tahun itu, konsepsi Indonesia sebagai konsep politik lahir, dan puncaknya terjadi pada tahun 1928: Lahirnya Sumpah Pemuda. Perekecualian dari kecenderungan ini adalah konsep "Indisch" atau "Hindia" dari
Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (
Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1909.
Konsepsi kebangsaan yang dilahirkan pada tahun 1920-an biarpun tidak secara eksplisit mengatakan demikian, sekali lagi sedikit banyak bersifat ekslusif pribumi. Partai-partai gerakan nasionalis pada waktu itu, di luar partai-partai kiri, tidak menerima anggota dari golongan penduduk lain, kecuali pribumi. Pada tahun 1930-an, ada perkembangan baru: berdirinya Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini memihak kepada gerakan Indonesia merdeka dan menyokong petisi-petisi bernada semikian di Volksraad. Akan tetapi, PTI pun menggolongkan para nasionalis Cina-Indonesia ini dalam satu wadah tersendiri. Hanya Partai Indonesia (Partindo), partainya Amir Syarifuddin pada tahun 1930-an, yang menerima anggota non-pribumi termasuk Cina. Akan tetapi, Partai Indonesia Raya (Parinda) tetap menolaknya. Zaman yang disebut pergerakan nasional juga dilatarbelakangi persaingan ekonomi borjuasi tiap golongan.
Artikel Terkait: