Dibalik Wafat Sahabat Sayyidina Ali
Ia sang penakluk benteng Khaibar yang konon hanya bisa diangkat oleh 15 orang. Jika Rasulullah adalah kota ilmu, maka ia adalah pintu gerbangnya. Meski begitu, ia terkenal zuhud, yang ikhlas berbagi sepotong roti, sesuatu yang hanya dimilikinya untuk dimakan pada suatu pagi dengan seorang peminta yang datang ke rumahnya dengan perut kelaparan. Ia adalah Ali bin Abi Thalib, si pemilik Dzul Faqar, pedang bermata dua. Ia sepupu Rasulullah sekaligus mantunya, suami Fatimah dan ayah Hasan dan Husain.
Dengan segala keutamakan itu, sungguh tragis memang jika peristiwa kematiannya merupakan sejarah yang berlumur darah. Tujuh Belas Ramadhan (TBR) merupakan jalinan rumit kisah cinta antara Qutham, Said, Khaulah, dan Abdurrahman bin Muljam. Qutham anak seorang Khawarij. Menuntut darah Ali bin Abi Thalib adalah cita-citanya semenjak ayah dan saudaranya terbunuh oleh tentara khalifah ke-4 itu pada peperangan Nahrawan di Sungai Dajlah (Tigris) dekat Baghdad. Sedang Said berdarah Umawy, yang juga menuntut darah Ali atas kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Said memuja Qutham, seperti kumbang menemukan bunganya. Apalagi keduanya memiliki cita-cita yang sama. Pemuda itu kemudian membuat surat perjanjian untuk menikahi Qutham dengan darah Ali sebagai maharnya.
Khaulah anak seorang pembuat senjata di Mesir yang dekat dengan Amr bin Ash, ahli strategi Muawiyah dalam peristiwa Tahkim yang memenangkan anak Abu Sufyan itu secara politis atas Ali. Ayah Khaulah seorang khawarij pula, yang mendukung upaya pembunuhan atas mantu Rasulullah itu. Ia bahkan telah membuat pedang seribu dinar bertabur racun seribu dinar untuk Abdurrahman bin Muljam. Pemuda inilah yang akan melaksanakan tugas eksekusi itu. Khaulah sangat paham rahasia ini, karena sudah menjadi janji orangtuanya bahwa darah Ali akan menjadi mahar pernikahan Ibnu Muljam dengan dirinya. Padahal, Khaulah, berseberangan dengan Ayahnya. Ia berpihak pada Ali dan bertekad membantu menyelamatkannya.
Said berdiri di persimpangan jalan ketika dalam wasiatnya, Abu Rihab menyuruhnya menghapus dendam kesumat itu. Bahkan kakeknya itu meminta Said membantu menyelamatkan Ali dari pembunuhan oleh sekelompok orang. Ini bertentangan dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Qutham. Akhirnya, dengan berat hati, ia mengikuti wasiat kakeknya. Said menyampaikan perubahan drastis itu kepada Qutham dengan taruhan pernikahannya. Namun, di luar dugaannya, Qutham ternyata justru mendukungnya untuk menyelamatkan Ali dan bahkan cita-cita itu kini menjadi persyaratan mahar yang baru baginya. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan Said.
Maka meluncurlah dari mulut Said rencana jahat yang sempat didengarnya di Makkah menjelang kakeknya wafat. Sekelompok orang akan membunuh tiga orang sekaligus yang membuat carut-marut umat saat itu pada malam 17 Ramadan. Mereka adalah Ali di Kufah, Amr bin Ash di Fusthath, Mesir, dan Muawiyah di Syams.
Qutham kemudian meminta Said pergi ke Mesir untuk menemui kelompok penolong Ali dan mencari tahu siapa saja yang bakal melaksanakan eksekusi itu. Bersama Abdullah, saudaranya, Said pergi ke Fusthath, Mesir. Nahasnya, Abdullah tertangkap tentara Amr ketika bertemu dengan penolong-penolong Ali di sebuah tempat bernama Ain Syams. Mereka yang tertangkap ditenggelamkan di sebuah teluk untuk menghilangkan jejak.
Said berhasil lolos dari sergapan ini atas bantuan Khaulah. Sebaliknya, Khaulah berhasil lolos dari belenggu Ayahnya atas bantuan Said. Dari mulut Khaulah, Said tahu nama Ibnu Muljam yang tengah dalam perjalanan ke Kufah. Dan dari mulut Said, Khaulah tahu bahwa target pembunuhan 17 Ramadhan tidak hanya Ali, tetapi juga Amr dan Muawiyah.
Keduanya kemudian berbagi tugas. Khaulah meminta Said secepatnya kembali ke Kufah untuk memberitahukan rencana jahat itu pada Ali sebelum saatnya tiba. Sedangkan Khaulah akan berusaha memberitahu Amr dengan caranya. Maka berangkatlah Said ke Kufah untuk mengejar waktu.
Sesampai di Kufah, Ibnu Muljam dipertemukan dengan Qutham oleh pembantu setianya. Melihat kecantikan gadis itu dan cita-cita yang sama untuk menuntut darah Ali – yang ditutup rapat gadis itu dari Said, Ibnu Muljam meminang gadis itu. Ini tentu pinangan baru setelah Said. Dan tentu saja, darah Ali menjadi maharnya.
Maka lengkaplah sudah konspirasi itu. Malam 17 Ramadhan pun tiba. Said sudah sampai di Kufah pada malam itu. Tanpa menunda-nunda lagi, ia bergegas ke rumah Ali. Sampai di masjid Ali, tidak ada seorang pun yang ia temui kecuali Qinbar, penjaga Ali yang tengah duduk di sana. Ketika tahu yang di hadapannya adalah Said, Qinbar langsung meringkus pemuda itu dengan bantuan penjaga Ali yang berada di dalam rumah. Said kaget mengetahui situasi itu, tetapi ia tidak berkutik ketika Qinbar memperlihatkan secarik surat perjanjian yang tidak lain perjanjian pernikahannya dengan Qutham untuk dengan mahar darah Ali. Surat perjanjian itu ternyata tidak pernah dilenyapkan Qutham, dan itulah yang menghambat Said untuk menyampaikan berita penting itu kepada Ali.
Maka pembunuhan itu pun terjadilah. Ali ditikam dengan pedang beracun oleh Ibnu Muljam tepat di kening ketika Subuh tiba. Khalifah itupun wafat. Sedangkan Ibnu Muljam dibunuh oleh sahabat dan penjaga-penjaga Ali. Said akhirnya dibebaskan dengan meninggalkan penyesalan pada setiap orang.
Adalah Abdurahman ibnu Muljam yang menikam Ali dengan pedang beracun pada suatu Subuh di masjid Kufah tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Pada saat yang sama dua orang kawan sekomplotannya melakukan upaya pembunuhan di tempat lain. Barak bin Abdullah ash-Shorimi membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan di Syams dan Amr bin Bakr at-Tamimi membunuh Amr bin Ash di Mesir. Ketiga orang ini, Ali, Muawiyah dan Amr adalah para tokoh di balik pertikaian politik pasca kematian khalifah Usman yang juga berlumuran darah. Imam Ali terluka yang berujung pada kematiannya. Muawiyah hanya terluka dan kemudian sembuh. Sedangkan pembunuhan terhadap Amr salah sasaran. Ketiga pembunuh itu, Ibnu Muljam, Barak dan Amr bin Bakr adalah anggota kelompok Khawarij, yang pada mulanya pendukung Imam Ali untuk menjadi khalifah, tetapi pada akhirnya membencinya karena suami Fatimah itu menerima Tahkim setelah perang Shiffin.
Mungkin saya kuper dan kurang baca, tetapi demikianlah cerita yang pernah saya dengar atau baca tentang sejarah terbunuhnya khalifah Ali. Bahwa ia terbunuh dalam sebuah pertikaian politik, saya paham. Bahwa ia dibunuh oleh anggota kelompok Khawarij, saya mafhum dan demikianlah sejarah telah tertulis. Jika kemudian ia ternyata terbunuh karena dendam yang berkelindan dalam kemelut cinta segitiga, itu yang membuat saya seperti bangun dari mimpi buruk yang panjang. Dan George Zidan rupanya telah berhasil membuat saya penasaran. Buku setebal 2 jari telunjuk itu terasa teramat tipis untuk saya selesaikan dalam waktu singkat.
Zidan menggunakan angle cerita yang tak pernah saya bayangkan ada di balik peristiwa mengenaskan itu. Ini yang membuat “nilai jual” buku ini melambung tinggi, setidaknya di mata saya. Zidan barangkali sangat mengerti bahwa cerita berseting sejarah akan sangat menarik minat orang untuk membacanya ketika diceritakan ulang (retelling story), apalagi secara “berbeda” dari yang pernah ada (pakem). Beauty and the Beast, sekadar contoh, mengalami sekian kali retelling dengan penceritaan yang berbeda, bahkan dengan nama tokoh dan judul yang berbeda, tetapi tetap diminati orang dan dibaca atau ditonton filmnya hingga hari ini. Ini baru cerita pure fiksi, tak berseting sejarah sedikitpun. Api di Bukit Menoreh, Naga Sasra dan Sabuk Inten, Bende Mataram, Senopati Pamungkas yang semuanya berseting sejarah merupakan buku-buku yang masih bertebaran dan dibaca orang hingga kini.
Apakah TBR sebuah buku fiksi? Setidaknya ISBN memasukkan karya ini ke dalam kategori (1) Novel Sejarah Islam (2) Sastra (3) Fiksi. Namun demikian, Zidan banyak menukil potongan peristiwa dan para pelaku dari berbagai kitab rujukan semisal tarikh Ibnul Atsir, tarikh Khumais, Sirah Halabiyah, Asadul Ghabah, Al-Mas’udi, tarikh Al-Khamis, dan sebagainya. Qutham bin Syahnah misalnya, adalah seorang yang real sebagaimana tertulis pada tarikh karya Khumais Jilid 2. Saya bahkan sempat merasa seperti membaca sebuah kitab sejarah dibandingkan dengan sebuah novel. Apalagi George Zidan juga dikenal sebagai penulis sejarah disamping seorang novelis.
Barangkali hanya ada dua hal saja yang ingin saya catat. Pertama, dialog dan deskripsi yang cukup banyak bertebaran di sana-sini menjadikan cerita ini lamban dan terkesan bertele-tele, setidaknya menurut perasaan saya. Dan kedua, banyak peristiwa kebetulan di dalam cerita ini; setidaknya menurut saya. Bagaimana Said berjumpa Khaulah, bagaimana Bilal — pembantu Khaulah bertemu dengan Raihan — pembantu Qutham, bagaimana Bilal akhirnya berjumpa dan membunuh Qutham, dan sebagainya. Cerita yang baik adalah cerita yang minim unsur paksaan pengarang dalam cerita itu. Minim peristiwa yang terlihat seperti sebuah kebetulan. Saya menemukan “kelemahan” ini di TBR.
Mungkin hanya karena penasaran ingin mengetahui akhir cerita ini saja yang membuat saya tidak bergeming untuk mengunyah TBR hingga akhir.
Bagaimanapun, pembunuhan khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sejarah berlumur darah kaum muslimin. Kita saja yang hidup 14 abad kemudian sangat menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi, meski tidak bisa mengambil tindakan apa-apa. Bagaimana mungkin para sahabat, orang-orang yang pernah hidup bersama Rasulullah dan menerima pembinaan langsung dari beliau, bahkan sebagian dari mereka sudah dijamin masuk syurga, bisa bertikai berkubang darah seperti itu.
Namun, apapun yang terjadi dengan dan pada masa sahabat, kita umat yang mutaakhir ini selayaknya diam dan tidak perlu mencela mereka; karena bagaimanapun merekalah pembela Nabi dan penegak Islam di awal hingga tersebar ke seluruh dunia seperti sekarang ini. Yang menjadi penting barangkali adalah bagaimana kita bisa mengambil ibrah dari peristiwa itu.
Dan buku karya George Zidan ini – lepas dari klaim sebagian orang bahwa George Zidan (Jurji Zaidan) adalah seorang orientalis, penulis sejarah Islam yang non-muslim, dan seorang yang menulis sejarah Islam dengan banyak menghina para tokohnya — mungkin juga ditulis untuk tujuan tersebut.
Wa Allahu a’lam